Secara singkat
dapat diartikan bahwa mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau
dibebani dengan hukum syar’i. maka ijab atau perintah Allah wajib dilaksanakan.
Adapun syarat-syarat mahkum fih yaitu: (1) perbuatan tersebut diketahui oleh
mukallaf, sehingga mereka bisa melakukannya sesuai dengan tuntutan yang dibebankan kepada mereka. Oleh
sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal (umum) dapat dilaksanakan, harus ada
penjelasan dari Nabi saw. Ayat aqimul al-shalat, misalnya, tidak menyebut cara
pelaksanaa shalat dalam Al-Qur’an. Demikian pula dengan ibadah haji, puasa,
zakat, dan segala perintah yang bersifat mujmal. Ia (perintah-perintah itu)
tidak dafpat ditaklifkan dan mukallafpun tidak dituntut agar mematuhinya,
melainkan ada penjelasan dari Nabi. (2) harus diketahui bahwa pentaklifan
tersebut berasa;;l dari yang berwenang mentaklifkan dan termasuk yang wajib
diketahui oleh mukallaf. Yang dimaksud dengan “mengetahui” disini adalah
kemungkinan mengetahui, bukan kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu, seorang
yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau
dengan menanyakannya kepada orang lain yang mengetahui, maka orang itu dianggap
mengetahui yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan
segala akibatnya. Oleh sebab itu juga orang-orang seperti itu tidak dapat
diterima alasannya bahwa dia tidak mengetahui adanya hukum tersebut. (3)
perbuatan yang ditaklifkan tersebut
dimungkinkan terjadi. Artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu
berada dalam batas kemampuan si muklallaf.
Daftar
pustaka: Koto, Alaidin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar