Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk
melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi
ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Menurut Harris (1985), etnosentrisme
merupakan kecenderungan bahwa individu menganggap kelompoknya lebih baik
dibandingkan kelompok lain yang dianggap liar, inhuman, menjijikkan bakan tidak
rasional. Etnosentrisme
adalah kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya
sendiri sebagai suatu yang prima, yang terbaik, mutlak dan
dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya dengan kebudayaan lain.
Contoh kasus Etnosentrisme yang terjadi antara Lampung Vs
Bali
Sudah tidak heran lagi bila menyaksikan jumlah suku asli
lampung lebih sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya. Bahasa yang
digunakan sehari – hari pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan provinsi
yang bertetangga dengan lampung seperti bengkulu dan sumatera selatan yang
masih menggunakan bahasa daerah masing – masing sebagai alat komunikasi. Bahkan
di beberapa kota / daerah di lampung bahasa jawa digunakan sebagai bahasa
komunikasi.Tentunya dengan berbaurnya berbagai macam suku tersebut maka tingkat
kecenderungan untuk terjadinya konflik pun semakin tinggi. Sebenarnya konflik –
konflik antar suku sudah sering terjadi di provinsi lampung baik itu antara
suku asli lampung dengan bali seperti yang terjadi saat ini, maupun jawa dengan
bali atau lampung dengan jawa. Kenapa hanya ketiga suku tersebut yang sering
terlibat konflik ? ya memang karena ketiga suku tersebutlah populasinya yang
paling banyak.
Di beberapa daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah desa yang
seluruh penduduknya berisi orang bali. Di tempat tersebut juga biasanya terdapat
sebuah pura besar tempat mereka melakukan kegiatan agama, sama persis seperti
keadaan di bali.Pada sisi lain masyarakat asli Lampung yang memiliki falsafah
hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah”
yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk
berkeberatan menerima penduduk pendatang. Tetapi dengan seiring waktu falsafah
hidup tersebut mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal. Suku
asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para pendatang, mereka
menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi memang terkadang para
pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan
rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa
dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan masalah “harga
diri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar