Jumat, 02 Desember 2016

Etnosentrisme




Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Menurut Harris (1985), etnosentrisme merupakan kecenderungan bahwa individu menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain yang dianggap liar, inhuman, menjijikkan bakan tidak rasional. Etnosentrisme adalah kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri  sebagai suatu yang prima, yang terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya dengan kebudayaan lain.
Contoh kasus Etnosentrisme yang terjadi antara Lampung Vs Bali 
Sudah tidak  heran lagi bila menyaksikan jumlah suku asli lampung lebih sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya. Bahasa yang digunakan sehari – hari pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan provinsi yang bertetangga dengan lampung seperti bengkulu dan sumatera selatan yang masih menggunakan bahasa daerah masing – masing sebagai alat komunikasi. Bahkan di beberapa kota / daerah di lampung bahasa jawa digunakan sebagai bahasa komunikasi.Tentunya dengan berbaurnya berbagai macam suku tersebut maka tingkat kecenderungan untuk terjadinya konflik pun semakin tinggi. Sebenarnya konflik – konflik antar suku sudah sering terjadi di provinsi lampung baik itu antara suku asli lampung dengan bali seperti yang terjadi saat ini, maupun jawa dengan bali atau lampung dengan jawa. Kenapa hanya ketiga suku tersebut yang sering terlibat konflik ? ya memang karena ketiga suku tersebutlah populasinya yang paling banyak.
Di beberapa daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah desa yang seluruh penduduknya berisi orang bali. Di tempat tersebut juga biasanya terdapat sebuah pura besar tempat mereka melakukan kegiatan agama, sama persis seperti keadaan di bali.Pada sisi lain masyarakat asli Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Tetapi dengan seiring waktu falsafah hidup tersebut mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal. Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi memang terkadang para pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan masalah “harga diri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar