Hampir tanpa kecuali, semua filsuf sebelum schopenhaeur memandang
kesadaran atau intelek atau rasio sebagai hakikat jiwa. Manusia disebut hewan
yang berakal, sebagai animal rationale. Schopenheur mengkritik anggapan
tersebut. Kesadaran dan intelek hanya merupakan permukaan jiwa kita. Seperti
dulu banyak orang yang tidak mengetahui hakikat buki kecuali permukaannya,
demikian pula para filsuf sekarang baru mengetahui permukaan jiwa, yakni
intelek atau kesadaran, tetapi tidak mengetahu hakikat yang sebenarnya.
Di bawah intelek yang sesungguhnya terdapat kehendak yang tidak
sadar, suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi, suatu kehendak dari keinginan
yang kuat. Intelek memang kadang-kadang mengendalikan kehendak, tetapi hanya
sebagai pembantu yang mengantar tuannya. “kehendak adalah orang kuat yang buta
menggendong orang lumpuh yang melek”. Kita tidak menginginkan sebuah benda
karena kita mempunyai alasan rasional untuk benda itu, melain kan kita
mempunyai alasan yang bisa dibuat rasional karena kita menginginkan benda itu.
Untuk kemenangan-kemenangan yang telah kita raih, kita mempunyai ingatan yang
cukup panjang; tetapi untuk kegagalan-kegagalan yang telah menimpa kita, dengan
segera kita lupakan. Orang bodohpun akan cepat mengerti jika objeknya merupakan
objek yang diinginkannya. Pendek kata, intelek adalah alat keinginan.
Kalaunintelek menggantikan keinginan, maka timbullah kebingungan. Tidak ada
yang lebih mudah mendapat kekeliruan daripada orang yang bertindak berdasarkan
refleksi.
Daftar Pustaka: Abidin Zainal, 2014. Filsafat Manusia (Memahami
Manuisa Melalui Filsafat). Bandung: Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar