Paulo
Freire pakar pendidikan pembebasan (1989), bahwa pendidikan bukan ‘menara
ganding’ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Menurutnya,
pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan,
bukan masyarakat yang hanya menggunakan prestise sosial sebagai akibat kekayaan
dan kemakmuran yang dialaminya. Dengan pendidikan multicultural peserta didik
mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati serta toleransi
kepada sesama tanpa memandang golongan, status, gender, dan kemampuan akademis
(Farida Hanum, 2005).
Pendidikan multikulturalisme adalah proses
ppenanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman
budaya yang hidup di tengah masyarakat yang pliral. Dengan pendidikan
multikulturalisme diharapkan adanya kelentural mental bangasa dalam menghadapi
benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Pendidikan multikulturalisme yang berkaitan dengan
pendidikan dan pengajran yang dirancang untuk budaya dari ras yang berbeda
dalam sistem pendidikan. Pendekatan ini untuk mrngajar dan belajar diddasarkan
pada pembangunan konsesnsus, menghormati dan mendorong pluralism budaya dalam
masyarakat ras. Pendidikan multicultural mengakui dan menggabungkan
keistimewaan ras positif ke dalam amosfer kelas. Sebenarnya pendidikan
multikulturalisme merupakan fenomena yang relative barudi ndalam dunia
pendidikan. Alhasil, dapat dikatakan sampai saat ini, bahwa wawasan
multikulturalisme di Indonesia masih rendah. Sehingga sering terjadi konflik
dan benturan tentang ras karena kurangnya pemahaman multikulturalisme.
Tujuan
utama pendidikan multicultural adalah mengubah pendekatan pelajaran dan
pembelajaran kea rah memberikan peluang yang sama. pada setiap anak. Jadi,
tidak ada yang dikorbankan tanpa persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus
damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan, tetapi tetap menekankan pada
tujuan umum untuk mencapai persatuan. Siswa ditanamkan pemikiran lateral,
keanekaragaman dan keunikan itu dihargai. Hal itu berarti harus ada perubahan
sikap, perilalu, dan nilai-nilai, khususnya civitas akademik sekolah. Ketika
siswa berada diantara sesamanya yang berlatar belakang berbeda, mereka harus
belajar satu sama lain, berinteraksi dan berkomunikasi sehingga dapat menerima
perbedaan diantara mereka sebagai sesuatu yang memperkaya mereka.
Daftar Pustaka:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar